Cerita Pendek Fiksi - Sahabat Sepenanggungan

Assalamu'alaikum :) Hi guys :D ketemu lagi yaa :v hehe... ini post-an ke 3 ku yang sbelumnya aku udah pernah nge-post yang pertama minggu lalu... di post-an ke 3 ku, aku bakal mem-posting cerita pendek yang judulnya "Sahabat Sepenanggungan".... Happy reading all :D


SAHABAT SEPENANGGUNGAN

      Teriknya sinar matahari yang garang memancarkan sinarnya tidak menyurutkan semangatku untuk segera menjelajahi sudut-sudut dan jalanan kota Jakarta yang ramai dilalui kendaraan. Debu dan asap yang menyesakkan napas tidak bisa menghalangiku. Dengan berbekal sebuah botol bekas yang diisi beras, kaki kecilku lincah berlari dan menghindar ke sana-sini.

      Ya, kalian pasti tahu siapa aku. Tidak perlu waktu lama untuk menebaknya. Ya, tidak lain dan tidak bukan, aku adalah seorang pengamen jalanan. Pengamen cilik tepatnya, karena aku masih berumur 8 tahun jalan 9. Dua bulan lagi aku akan berulang tahun. Mungkin masih terlalu kecil untuk anak seumuranku untuk menjadi seorang pengamen jalanan. Setiap hari bermandikan peluh dan keringat ketika harus bersusah payah berjalan dan bernyanyi ke sana kemari untuk sekedar mendapat penghasilan demi mendapat sesuap nasi setiap malamnya. 

      Terlalu dini untukku mengadu nasib di dunia yang luas ini. Apalagi di Kota Jakarta yang terkenal dengan kekerasan di jalanan. Belum lagi aku tidak mempunyai tempat tinggal sehingga setiap malam harus keluyuran mencari tempat bernaung. Di saat hujan turun atau ketika matahari tengah bersinar garang pun aku tidak tahu harus berteduh ke mana selain di bawah pohon atau depan emperan toko. Kehidupan yang keras yang harus dijalani anak seusiaku.

      Tapi, dibalik semua itu aku bersykur, karena di usiaku yang masih kecil, mungkin saja mereka akan iba melihat wajahku memberi uang lebih. oh iya, yang membuatku tegar menjalani semua ini adalah karena aku tidak sendiri. aku mempunyai seorang sahabat yang bernasib sama denganku yang bernama Chaca. Aku dan Chaca telah bersama sejak kami kecil. Mengalami suka dan duka yang kami rasakan saat harus bertahan hidup di dunia luar . Kami saling melengkapi dan menyayangi satu sama lain. 

      Bukan pilihan kami untuk menjadi seorang pengamen. Pasti tidak ada yang mau menjadi seorang pengamen jalanan. Tapi, roda nasib membawa kami ke sini, dan kami harus menjalaninya. Terkadang, kami iri pada anak lain yang seusia dengan kami yang pergi ke tempat-tempat bagus, memakain pakaian yang bagus, berjalan dengan digandeng orang tua mereka, terlihat ceria dan bahagia. Sedangkan kami, orang tua kami siapa dan berada di mana pun kami tidak tahu. Ingin rasanya melihat wajah Ayah dan Ibu, walau kutahu itu tidak mungkin. 

      Meski dihadapkan dengan takdir dan situasi yang tidak diharapkan, kami tidak pernah mengeluh. Kami yakin takdir yang diberikan oleh Allah adalah yang terbaik dan merupakan takdir yang terindah untuk hambanya. Karena itu, kami menjalaninya dengan suka cita. 

                              ★    ★    ★

      Lampu merah di perempatan sebrang jalan menyala dan membuat kendaraan-kendaraan berhenti. Tanpa dikomando lagi, aku segera berjalan ke sana dan mencari kendaraan yang bisa kunaiki. Aku menetapkan pilihanku pada satu angkot yang tengah berhenti karena lampu merah. Aku menaikinya. Aku angkot itu lumayan penuh dan aku mulai melakukan aksiku. Kukeluarkan botol dari dalam saku dan mulai bernyanyi. Walaupun suaraku ridak terlalu bagus, tapi aku tetap menyanyi dengan sepenuh hati. Setelah selesai menyanyi, aku menyodorkan wadah plastik bekas sebagai tempat menyimpan uang. Selesai, aku pun segera turun daru angkot itu bertetapan dengan menyalanya lampu hijau. Aku kembali ke tempat asalku dan segera menghitung hasil. Rp 1000, tidak terlalu banyak memang, tapi merupakan awal yang baik untuk hari ini. Sambil bersimpuh di bawah sebatang pohon, aku menunggu lampu merah berikutnya.

                              ★    ★    ★

      Senja mulai menampakkan dirinya di peraduan. Hujan gerimis turun membasahi bumi. Setelah selesai dengan pekerjaan mengamenku di salah satu bus AKAP, aku pergi ke bawah pohon kembali. Dengan badan menggigil kehujanan, aku mengeluarkan penghasilanku hari ini. Saat tengah menghitung. Chaca datang dan duduk di depanku. 
      “Dapet berapa, Tya ?”
      “Hmm..... Rp 7.500,” jawabku. “Kalo kamu ?”
      “Gak banyak, cuma 5000,” tutur Chaca.
      “Ya, cukuplah buat beli makan di warung Mpok Ita,” ujarku.
      “Apa gak ditabung aja ?” tanya Chaca.
      Aku diam menatapnya, lalu mengeluarkan tabungan kami. Sebenarnya, tabungan kami tidak bisa disebut tabungan. Itu hanyalah toples bekas yang kami temukan di jalan. Aku melihat dananya.
      “Masih banyak, 50.000 sih, lebih,” ucapku. “Jadi, kan makannya ?” tanyaku memastikan. Chaca terdiam.
      “Ya, bolehlah. Tapi, 1 berdua aja, ya ?” ucap Chaca.

      Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Ya ampun, Chaca, hemat banget, sih ? Ya udah, deh. Daripada gak makan,” ucapku seraya beranjak dari duduk. Aku menarik tanagn Chaca. 

      Kami berjalan beriringan di bawah naungan atap toko dan rumah warga, menghindari hujan yang semakin menderas. Lampu-lampu mulai dinyalakan karena hari mulai gelap. Kami sampai di sebuah gang dan berjala hingga ke ujungnya. Di sanalah kami bisa menemukan bangunan persegi empat yang hanya terdiri dari kayu dan hanya memiliki sebuah jendela yang ditutup dengan kawat. Itulah warung Mpok Ita.
      Ketika kami masuk, alunan musik keroncong terdengar mengalun merdu. Mpok Ita sangat menyukai musik keroncong. Kami duduk di salah satu meja dan memanggil Mpok Ita. 
      “Mpok, mau pesen.” ujar kami berbarengan.
      Mpok Ita menghampiri kami. “Pesen ape, neng ?” tanya Mpok Ita akrab.
      “Biasa, Mpok.” ucapku.
      Mpok Ita mengangguk mengerti, lalu meninggalkan kami.
      “Tya,” ucap Chaca memulai pembicaraan. Aku menoleh. “Tahu enggak, tadi, pas aku ngamen aku gak sengaja ngelihat panti asuhan yang letaknya gak jauh dari sini.” 
      “Terus ?” tanggapku. 
      “Ya, aku, sih punya ide. Tapi aku gak tahu kamu setuju atau nggak,” tutur Chaca.
      “Ide apaan emangnya ?” tanyaku penasaran.
      “Hmmm... Ya, aku pengen...” ucap Chaca. “Kita masuk ke panti itu.”
      “Hah? Masuk ke panti asuhan, maksud kamu ?” aku berdelik kaget.
      “Iya, Tya. Coba kamu pikir. Kalo kita masuk ke panti asuhan, kita gak perlu susah payah gini. Kita punya tempat berteduh, kita punya banyak makanan dan minuman, punya banyak temen. Terus juga, kalo kita di sana, bisa aja sewaktu-waktu ada orang tua yang bakal mengadopsi kita. Iya, gak ?” ucap Chaca, mencoba meyakinkanku.

      Baru saja aku hendak menjawab, Mpok Ita datang mengantarkan makanan kami. Tanpa banyak bicara lagi kami menyantap makanan yang telah terhidang. Tidak ada sepatah kata pun yang yang keluar dari mulut kami ketika menyantap hidangan. Padahal biasanya kami saling berbicara dan bercanda satu sama lain. Entahlah, aku tidak menyukai suasana ini.

                              ★    ★    ★

      Pagi harinya, aku terbangun dengan semangat baru. Kuregangkan tangan dan sekujur tubuhku. Setelah itu aku berdiri dan menatap sekitar. Kulihat Chaca yang masih tertidur di sampingku. Aneh, ia biasanya bangun lebih dulu.

      Aku duduk di samping Chaca dan berusaha membangunkannya. Tapi, aku segera menarik tanganku lagi ketika secara aku tidak sengaja meraba keningnya. Panas. Ya Allah, apakah Chaca demam? Mengapa? Apa karena hujan semalam? Tiba-tiba, mata Chaca yang terpejam terbuka sedikit. 

      “Ty.... A..? Sudah bangun?” ucapnya lemah.
      Aku mengangguk pelan. “Kamu kenapa, Cha ? Kamu panas. Kamu sakit, Cha ?” tanyaku khawatir. 

      “Gak papa, Tya. Aku baik-baik aja, kok,”  Chaca berbicara semakin lemah. Badannya  panas. Ia pun menggigil kedinginan.

      “Kamu bohong. Badan kamu panas gitu, kok. Pasti kamu gak baik-baik aja.” aku bersikeras. Chaca hanya diam. “Aku beliin obat buat kamu, ya,” ujarku pada Chaca. Chaca tidak menjawab. Ia kembali memejamkan matanya, lalu berbalik ke arah pintu toko. 

      
Pengarang : Nabila Meisya Ardana ❤ #continue :) next time ini bru setengahnya lho ceritanya panjaaaang banget 😁 so wait the next 😊
      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tarian Buchaechum - Korea

Sajak sunda Di Pajaratan - Élis Érnawati

Implementasi Nilai-nilai Trilogi Universitas Nusa Putra dalam Kehidupan Sehari-hari